top of page

Equity World | Harga Minyak Ambrol, Wall Street Jebol, Jadi Resesi Nih?

Equity World | Harga Minyak Ambrol, Wall Street Jebol, Jadi Resesi Nih?


Equity World | Pasar keuangan Indonesia ditutup variatif pada perdagangan kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat, tetapi nilai tukar rupiah melemah.



Kemarin, IHSG ditutup di posisi 6.968,78. Menguat 0,25% sekaligus jadi rekor tertinggi sejak 28 Juni. Sejengkal lagi, IHSG akan kembali menapaki level 7.000.


Perdagangan di lantai bursa berlangsung semarak. Volume perdagangan tercatat melibatkan 25,02 miliar unit saham. Jauh lebih tinggi ketimbang rata-rata sepanjang tahun ini yaitu 23,37 miliar.


Kemudian frekuensi perdagangan adalah 1,39 juta kali transaksi. Lebih tinggi dibandingkan rerata sepanjang tahun yakni 1,38 juta.


Lalu nilai perdagangan adalah Rp 14,89 triliun. Kalau yang ini, lebih rendah dibandingkan rata-rata sepanjang tahun yang senilai Rp 15,42 triliun.


Investor asing masih membukukan beli bersih senilai Rp 902,58 miliar di seluruh pasar. Dengan demikian, nilai beli bersih investor asing sepanjang 2022 adalah Rp 58,79 triliun.


Akan tetapi, aliran modal di pasar saham tersebut belum cukup untuk menyelamatkan rupiah. Di hadapan dolar Amerika Serikat (AS), mata uang Tanah Air melemah 0,27% kala penutupan perdagangan pasar spot.


Beralih ke bursa saham AS, tiga indeks utama ditutup melemah. Dow Jones Industrial Average (DJIA), S&P 500, dan Nasdaq Composite terkoreksi masing-masing 0,14%, 0,28%, dan 0,18%.


Sementara indeks volatilitas (VIX) melesat 7,5%. Indeks ini sering disebut sebagai indeks ketakutan, karena mencerminkan sejauh mana pelaku pasar bersedia mengambil risiko. Semakin tinggi indeksnya, maka semakin besar ketakutan di pasar.


Ada sejumlah sentimen yang membuat Wall Street finis di jalur merah. Pertama adalah koreksi teknikal.


Sepanjang bulan lalu, S&P 500 meroket 9,1%, kenaikan bulanan tertinggi sejak November 2020. Sedangkan Nasdaq 'terbang' 12,3%, lompatan bulanan tertinggi sejak April 2020.


Wajar jika investor tergiur dengan cuan tersebut. Wall Street pun terpapar tekanan jual sehingga harus rela melemah.


Kedua adalah rilis data aktivitas manufaktur. Pada Juli 2022, aktivitas manufaktur yang diukur dengan Purchasing Managers' Index (PMI) di Negeri Paman Sam tercatat 52,8. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 53 sekaligus jadi yang terendah sejak Juni 2020.


Pada kuartal II-2022, perekonomian AS mengalami kontraksi (pertumbuhan negatif) sebesar 0,9% secara kuartalan. Ini menjadi kontraksi ekonomi dalam dua kuartal beruntun, sehingga AS sudah masuk kategori resesi teknikal.


Dengan aktivitas manufaktur yang melambat, maka bukan tidak mungkin AS akan sulit keluar dari 'jurang' resesi dalam waktu dekat. Ini tentu menjadi sentimen negatif di pasar.

Comments


bottom of page