Equity World | China Akan Habis-Habisan Genjot Ekonomi, RI Bisa Untung Besar
Equity World | China Akan Habis-Habisan Genjot Ekonomi, RI Bisa Untung Besar
Equity World | Pasar keuangan Indonesia pada perdagangan Senin (19/6/2023) kemarin kurang menggembirakan, di mana Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), rupiah, dan pasar obligasi pemerintah RI terpantau lesu.
Sentimen pasar pada perdagangan kemarin cenderung sepi. Namun, investor sepertinya masih mempertimbangkan sikap bank sentral Amerika Serikat (AS) yang masih dovish pada tahun ini, di mana bank sentral Negeri Paman Sam tersebut masih akan menaikkan suku bunga acuannya dua kali pada akhir tahun ini.
Selengkapnya mengenai sentimen pasar keuangan global dan dalam negeri hari ini bisa dibaca pada halaman 3 di artikel ini.
Menurut data dari Bursa Efek Indonesia (BEI), IHSG pada perdagangan kemarin ditutup melemah 0,19% ke posisi 6.686,059. IHSG masih diperdagangkan di level psikologis 6.600 kemarin.
Nilai transaksi indeks pada perdagangan kemarin terbilang sepi yakni mencapai sekitar Rp 7,8 triliun dengan melibatkan 21 miliaran saham yang berpindah tangan sebanyak 1,2 juta kali. Sebanyak 254 saham menguat, 269 saham melemah, dan 218 saham lainnya stagnan.
Investor asing kembali mencatatkan aksi jual bersih (net sell) sebesar Rp 407,94 miliar di seluruh pasar pada perdagangan kemarin.
Di kawasan Asia-Pasifik, secara mayoritas juga melemah kemarin. Hanya indeks ASX 200 Australia yang ditutup menguat. Sedangkan, indeks Nikkei 225 Jepang menjadi yang paling parah koreksinya kemarin yakni mencapai 1%.
Berikut pergerakan IHSG dan bursa Asia-Pasifik pada perdagangan Senin kemarin.
Sedangkan untuk mata uang rupiah pada perdagangan kemarin juga ditutup melemah terhadap dolar AS.
Berdasarkan data Refinitiv, rupiah mengakhiri perdagangan kemarin di Rp 14.990/US$, melemah 0,4% di pasar spot. Rupiah pun hampir menyentuh Rp 15.000-an kemarin.
Rupiah tidak sendirian, mayoritas mata uang Asia juga gagal melawan The Greenback kemarin. Hanya dolar Hong Kong dan rupee India yang berhasil melawan The Greenback, itupun hanya tipis-tipis saja.
Sementara di pasar surat berharga negara (SBN), pada perdagangan kemarin harganya melemah, menandakan bahwa imbal hasil (yield) mengalami kenaikan dan tandanya dilepas oleh investor.
Melansir data dari Refinitiv, yield SBN tenor 10 tahun yang merupakan SBN acuan negara terpantau naik 0,4 basis poin (bp) menjadi 6,31%.
Yield yang naik menandai harga SBN yang melandai karena investor melepas SBN, terutama investor asing.
Yield berlawanan arah dari harga, sehingga naiknya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang melemah, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.
Amerika Serikat dan China, dua raksasa ekonomi dunia membuat rupiah tertekan. Bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang berencana menaikkan suku bunga lagi di sisa tahun ini membuat dolar perkasa dan rupiah pun tertekan. Rencana The Fed ini pun juga membuat IHSG kembali lesu.
Pada Kamis pekan lalu, tepatnya dini hari waktu Indonesia, memang The Fed mempertahankan suku bunga acuannya di 5% - 5,25%. Tetapi The Fed tetap memberikan sinyal akan ada kenaikan lagi di sisa tahun ini.
Dalam pengumuman kebijakan moneter tersebut, The Fed juga merilis dot plot yang menunjukkan suku bunga bisa dinaikkan lagi di sisa tahun ini.
Dot plot tersebut menunjukkan suku bunga bisa berada 5,6% atau di rentang 5,5% - 5,75%. Artinya, masih ada kemungkinan kenaikan dua kali lagi masing-masing sebesar 25 bp.
Tidak hanya dinaikkan, suku bunga tinggi akan dipertahankan dalam waktu yang lama. Hal itu diungkapkan oleh ketua The Fed, Jerome Powell.
"Pemangkasan suku bunga akan tepat dilakukan saat inflasi turun secara signifikan. Dan sekali lagi, kita berbicara beberapa tahun ke depan," kata Powell.
Sebaliknya, bank sentral China (People's Bank of China/PBoC) justru memangkas dua suku bunga acuannya pada pekan lalu dan diperkirakan akan melakukan lagi hari ini.
Pemangkasan suku bunga bisa memacu perekonomian, dan tentunya berdampak positif ke Indonesia. Sayangnya kali ini tidak demikian, sebab pelaku pasar masih mengira-ngira seberapa parah perekonomian Negeri Tiongkok akan melambat.
Banyak bank investasi ternama kini memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi China. Terbaru ada Goldman Sachs yang memangkas cukup tajam, dari 6% menjadi 5,4% untuk 2023.
Hal ini membuat pelaku pasar was-was jika kebijakan yang diambil belum mampu memacu perekonomian, China bisa melambat lebih dalam lagi.
Comments